Rabu, 04 April 2012

KERAJAAN LARANTUKA


Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti pulau naga dalam bahasa lokal, sedangkan dalam bahasa portugis: Cabo de Flores  yang sekarang disebut sebagai pulau flores dalam buku Nāgaraktāgama dikatakan sebagai Galiyao  yang disebut sebagai perdagangan monopoli penghasil kayu cendana  dan wilayah kekuasaan kerajaannya meliputi sampai Kerajaan adonara. dengan raja pertama bernama Lorenzo I
Kerajaan Larantuka merupakan salah satu kerajaan Kristen yang berdiri di Nusantara yang terbilang cukup besar dimasanya.
Berdasarkan legenda setempat, keturunan raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan Wehale Waiwiku dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari gunung LIi mandiri.

readmore »»  

Senin, 02 April 2012

SEJARAH KABUPATEN BANTAENG ( SULAWESI SELATAN )


Sejarah kabupaten Bantaeng

Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu. Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).
Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto)
Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.
Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.
Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis mennetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah).
Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).
Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.
Daftar nama-nama raja yang pernah memerintah
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah memerintah di wilayah Kabupaten Bantaeng, yaitu:
  1. Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang                                                                                                            mana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa
     yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh Karaeng,
     yaitu Kare Onto, Kare Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi,
     yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”
  2. Sesudah Mula Tau, maka Raja kedua yang memerintah yaitu Raja Massaniaga pada tahun 1293.
  3. Pada tahun 1293 - 1332 dipimpin oleh To Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya.
  4. Tahun 1332 - 1362 dipimpin oleh Massaniaga Maratung.
  5. Tahun 1368 - 1397 dipimpin oleh Maradiya.
  6. Tahun 1397 - 1425 dipimpin oleh Massanigaya.
  7. Tahun 1425 - 1453 dipimpin oleh I Janggong yang bergelar Karaeng Loeya.
  8. Tahun 1453 - 1482 dipimpin oleh Massaniga Karaeng Bangsa Niaga.
  9. Tahun 1482 - 1509 dipimpin oleh Daengta Karaeng Putu Dala atau disebut Punta Dolangang.
 10. Tahun 1509 - 1532 dipimpin oleh Daengta Karaeng Pueya.
 11. Tahun 1532 - 1560 dipimpin oleh Daengta Karaeng Dewata.
 12. Tahun 1560 - 1576 dipimpin oleh I Buce Karaeng Bondeng Tuni Tambanga.
 13. Tahun 1576 - 1590 dipimpin oleh I Marawang Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona.
 14. Tahun 1590 - 1620 dipimpin oleh Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa ri Jalanjang Latenri Rua.
 15. Tahun 1620 - 1652 dipimpin oleh Daengta Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya.
 16. Tahun 1652 - 1670 dipimpin oleh Daengta Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge.
 17. Tahun 1670 - 1672 dipimpin oleh Mangkawani Daeng Talele.
 18. Tahun 1672 - 1687 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Baso (kedua kalinya).
 19. Tahun 1687 - 1724 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Ngalle.
 20. Tahun 1724 - 1756 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Manangkasi.
 21. Tahun 1756 - 1787 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Loka.
 22. Tahun 1787 - 1825 dipimpin oleh Ibagala Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang.
 23. Tahun 1825 - 1826 dipimpin oleh La Tjalleng To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkonga ri Bantaeng
     yang bergelar Karaeng Loeya ri Lembang.
 24. Tahun 1826 - 1830 dipimpin oleh Daeng To Nace (Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang).
 25. Tahun 1830 - 1850 dipimpin oleh Mappaumba Daeng To Magassing.
 26. Tahun 1850 - 1860 dipimpin oleh Daeng To Pasaurang.
 27. Tahun 1860 - 1866 dipimpin oleh Karaeng Basunu.
 28. Tahun 1866 - 1877 dipimpin oleh Karaeng Butung.
 29. Tahun 1877 - 1913 dipimpin oleh Karaeng Panawang.
 30. Tahun 1913 - 1933 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi.
 31. Tahun 1933 - 1939 dipimpin oleh Karaeng Mangkala
 32. Tahun 1939 - 1945 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang
 33. Tahun 1945 - 1950 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi (kedua kalinya).
 34. Tahun 1950 - 1952 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang (kedua kalinya).
 35. Tahun 1952 - Karaeng Massoelle (sebagai pelaksana tugas).


Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Terletak dibagian selatan provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 395,83 km² atau 39.583 Ha yang dirinci berdasarkan Lahan Sawah mencapai 7.253 Ha (18,32%) dan Lahan Kering mencapai 32.330 Ha. Secara administrasi Kabupaten Bantaeng terdiri atas 8 kecamatan yang terbagi atas 21 kelurahan dan 46 desa. Jumlah penduduk mencapai 170.057 jiwa.  Kabupaten Bantaeng terletak di daerah pantai yang memanjang pada bagian barat dan timur sepanjang 21,5 kilometer yang cukup potensial untuk perkembangan perikanan dan rumput laut.
Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak pada titik 5o21'23"-5o35'26" lintang selatan dan 119o51'42"-120o5'26" bujur timur. Berjarak 125 Km kearah selatan dari Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayahnya mencapai 395,83 Km2 dengan jumlah penduduk 170.057 jiwa (2006) dengan rincian Laki-laki sebanyak 82.605 jiwa dan perempuan 87.452 jiwa. Terbagi atas 8 kecamatan serta 46 desa dan 21 kelurahan. Pada bagian utara daerah ini terdapat dataran tinggi yang meliputi pegunungan Lompobattang. Sedangkan di bagian selatan membujur dari barat ke timur terdapat dataran rendah yang meliputi pesisir pantai dan persawahan.
Kabupaten Bantaeng yang luasnya mencapai 0,63% dari luas Sulawesi Selatan, masih memiliki potensi alam untuk dikembangkan lebih lanjut. Lahan yang dimilikinya ± 39.583 Ha. Di Kabupaten Bantaeng mempunyai hutan produksi terbatas 1.262 Ha dan hutan lindung 2.773 Ha. Secara keseluruhan luas kawasan hutan menurut fungsinya di kabupaten Bantaeng sebesar 6.222 Ha (2006).
Karena sebagian besar penduduknya petani, maka wajar bila Bantaeng sangat mengandalkan sektor pertanian. Masuk dalam pengembangan Karaeng Lompo, sebab memang jenis tanaman sayur-sayurannya sudah berkembang pesat selama ini. Kentang adalah salah satu tanaman holtikultura yang paling menonjol. Data terakhir menunjukkan bahwa produksi kentang mencapai 4.847 ton (2006). Selain kentang, holtikultura lainnya adalah kool 1.642 ton, wortel 325 ton dan buah-buahan seperti pisang dan mangga. Perkembangan produksi perkebunan, khususnya komoditi utama mengalami peningkatan yang cukup berarti.

Hari kelahiran Bantaeng adalah merupakan momentum sejarah yang memiliki makna yang sangat dalam dan mendasar, oleh karena itu maka penentuan hari jadi Bantaeng harus dilakukan secara arif dan bijaksana serta mempertimbangkan berbagai hal dan dimensi, antara lain dengan menggunakan berbagai pendekatan dan penelitian yang seksama, seperti seminar, diskusi-diskusi ilmiah dan observasi terhadap data lontara, penelitian situs sejarah dan melalui penelitian dokumen-dokumen yang ada. Apabila dilihat dari segi yuridis formal, maka hari jadi Bantaeng jatuh pada tanggal 4 Juli 1959 saat diundangkan Undang–Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi. Namun, pemberlakuan Undang–Undang Nomor 29 tahun 1959, bukanlah menunjukkan keberadaan Bantaeng pertama kali ada, karena Kabupaten Bantaeng sebagai bekas Afdeling pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda sudah lama dikenal sebagai pusat pemerintahan formal. Bahkan sejak tanggal 11 Nopember 1737 Resident Pertama pemerintahan Hindia Belanda telah memimpin pemerintahan di Bantaeng. Dengan status “Buttatoa”, maka kita menoleh kepada sejarah jauh sebelumnya, ketika kerajaan Belanda terbentuk pada abad XII, yang telah ditemukan oleh Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit ketika memperlebar usaha dagang dan kekuasaan kewilayah timur dan dicatat dalam berbagai dokumen, antara lain peta wilayah Singosari dan buku Prapanca yang berjudul Negara Kertagama. Dengan demikian, maka hari jadi Bantaeng selain bermakna histories juga bermakna simbolik yang menggambarkan nilai budaya dan kebesaran Bantaeng dimasa lalu dengan adat istiadatnya yang khas. Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto, dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu : Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Katapang, dan Lawi-lawi. Selain itu, sejarah menunjukkan bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi Perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai Bandar pelabuhan dan lumbung pangan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotisme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran. Bulan 12 (Dua Belas), menunjukkan sistim Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang, yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya, yang secara demokratis menetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng. Tahun 1254 dalam Atlas Sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada ketika Kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu. Secara simbolis, 1254 bermakna pula “54” tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada saat ditetapkan hari jadi Bantaeng pada tanggal 4 Juli 1999 pada Mubes KKB di Bantaeng.Bahkan menurut Prof. Nurdin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tua (tanah bersejarah). Selanjutnya laporan penelitian Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuang (1279-1368). Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999, berdasarkan keputusan Mubes KKB Nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang Penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepakatan anggota DPRD tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat hari jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, Peraturan Daerah Nomor : 28 tahun 1999. Sejak terbentuknya Kabupaten daerah tingkat II Bantaeng berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang pertama dilantik pada tanggal 1 Pebruari 1960.

Daftar Kepala Pemerintahan
Sejak terbentuknya Kabupaten daerah Tingkat II Bantaeng berdasarkasn UU Nomor 29 Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang pertama dilantik pada tanggal 1 Pebruari 1960. Adapun pejabat pemerintahan sejak terbentuknya Kabupaten Bantaeng hingga saat ini adalah sebagai berikut:
1.     A. Rifai Bulu (1960-1965)
2.     Aru Saleh (1965-1966)
3.     Solthan (1966-1971)
4.     H. Solthan (1971-1978)
5.     Drs. H. Darwis Wahab (1978-1988)
6.     Drs. H. Malingkai Maknun (1988-1993)
7.     Drs. H. Said Saggaf (1993-1998)
8.     Drs. H. Azikin Solthan, M.Si (1998-2008)
9.     Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Agr (2008-sekarang)

                                                                                                

Industri dan pariwisata
Sektor industri menjadi pilihan kedua untuk dikembangkan di Kabupaten Bantaeng yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pengembangan sektor industri sangat berpeluang dimasa mendatang, namun membutuhkan investor yang sangat kuat. Dengan perkembangan sektor industri, dampaknya sangat positif, sebab disamping meningkatkan pendapatan masyarakat juga menyerap banyak tenaga kerja. Industri-industri yang berkembang antara lain adalah industri pembersih biji kemiri, pembuatan gula merah, pertenunan godongan, pembuatan perabot rumah tangga dari kayu, anyaman bambu atau daun lontar dan lain-lain.
Sektor lain yang perlu diperhitungkan adalah sektor pariwisata. Kabupaten Bantaeng memiliki peninggalan sejarah yang tercatat dalam buku-buku sejarah. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut sangat menarik untuk dikunjungi. Tak heran memang jika pemerintah kabupaten setempat sangat menaruh perhatian terhadap pariwisata. Terbukti direnovasinya berbagai objek wisata alam menjadi tempat menarik, sepeti permandian alam Bissappu. Juga dipeliharanya peningalan-peninggalan sejarah seperti Balla Tujua yang merupakan kebanggaan masyarakat setempat.
Kabupaten Bantaeng terus berpacu dengan daerah lainnya dengan mengembangkan penataan kota melaui pembuatan taman, drainase, lampu jalan dan lain-lain.


readmore »»  

Selasa, 27 Maret 2012

MANUSIA PURBA DI INDONESIA


Penelitian ilmiah tentang fosil Manusia Purba di Indonesia baru dimulai pada akhir abad kesembilan belas, khususnya penelitian paleo antropologi. Penelitian itu dapat dibagi pada 3 tahapan, yakni ; (a) 1889-1909 (b)1931-1941 (c) 1952-sekarang.
Penelitian tahap pertama, ditandai dengan penemuan tengkorak pertama di wajak,tulung agung, Kediri tahin s889. Temuan ini menyebabkan Eugene Dubois, seorang dokter tentara belanda, memindahkan kegiatannya dari sumatera barat ke pulau jawa. Penemuan pertama Dubois berupa fosil atap tengkorak pithecanthropus erectus di trinil (ngawi ) pada tahun 1891 ( sekarang tersimpan di Leiden, Belanda ).
Penelitian tahap kedua, dilakukan oleh Ter Haar, Oppenoorth dan Von Koeningswald tahun 1931-1933 di Ngandong, Blora, berupa tengkorak dan tulang kering Pithecantropus Soloensis. Penelitian selanjutnya oleh Von Koeningswald tahun 1936-1941 di Sangiran, Surakarta, berupa fosil Rahang, Gigi dan Tengkorak, dan disebut meganthropus palaeojavanicus.
Penelitian tahap ketiga mulai tahun 1952 di sangiran, Surakarta, berupa bagian tubuh Pithecanthropus yang belum ditemukan sebelumnya, seperti tulang-tulang muka, dasar tengkorak dan tulang pinggul. Dalam tahap ini ditemukan fosil tengkorak ditempat yang baru, yaitu di sambung macan, sragen. Penelitian tahap ketiga ini dilakukan oleh orang-orang Indonesia sendiri, terutama olehpara dokter dan geolog, dipimpin oleh Prof. Dr. T. Jacob yang memulai penelitiannya di sangirandan sepanjang bengawan solo.
Jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
a.       Meganthropus.
Meganthropus paleojavanicus adalah fosil manusia yang paling primitive yang pernah ditemukan di Indonesia. Fosil ini ditemukan oleh Von Koeningswald, brupa rahang bawah dan atas serta gigi-gigi lepas pada tahun 1936-1941 di Sangiran, Surakarta.
Ciri-ciri:
-          Hidup sekitar dua juta sampai satu juta tahun yang lalu
-          Badannya sangat tegap
-          Gerahamnya besar
-          Tonjolan kening menyolok
-          Tonjolan belakang kepala tajam
-          Dagu tidak ada
-          Hidup dengan mengumpulkan makanan terutama tumbuh-tumbuhan.
b.      Pithecanthropus
Fosil pithecanthropus paling banyak ditemukan pada kala plestosen di Indonesia (dominan), hidup pada plestosen awal dan tengah, dan mungkin juga plestosen akhir. Fosilnya ditemukan di perning, kedungbrubus, trinil, sangiran, sambungmacan, dan ngandong.
Ciri-ciri:
-          Tinggi 165-180 cm
-          Badan tegap ( tidak setegap Meganthropus )
-          Geraham besar
-          Rahang kuat
-          Tonjolan kening sangat nyata
-          Atap tengkorak tebal
-          Dagu tidak ada
-          Hidung lebar
-          Isi tengkorak 750-300 cc,
-          dahi miring kebelakang
-          letak tengkorak diatas tulang belakang belum menyamai keadaan pada manusia
-          hidup berkelompok terdiri atas 20-50 orang
        jenis-jenis pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia anatara lain :
a.              pithecanthropus  mojokertensis atau robustus : ditemukan di Perning, Mojokerto tahun 1936, di Sangiran Surakarta.
b.             pithecanthropus  erectus : ditemukan di Trinil ( Ngawi ) dan di Sangiran
c.             pithecanthropus soloensis : ditemukan di sangiran, sambungmacan ( sragen ) dan ngandong ( blora )
C, Homo
Fosil manusia jenis homo yang berasal dari kala plestosen di Indonesia adalah homo wajakensis, ditemukan dekat campur darat, Tulungagung, Jawa Timur  oleh Van Rrietchoten tahun 889.
Cirri-ciri :
-          mogoloid dan australomelanesid
-          hidup antara 40.000-25.000 tahun yang lalu
-          mendiami Indonesia bagian barat dan timur
-          populasinya lebih besar dari pithecanthropus
readmore »»