Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa
yang berarti pulau naga dalam bahasa lokal, sedangkan dalam bahasa portugis: Cabo de Floresyang sekarang disebut sebagai pulau flores dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai
Galiyao yang disebut sebagai perdagangan
monopoli penghasil kayu cendanadan wilayah
kekuasaan kerajaannya meliputi sampai Kerajaan adonara. dengan raja pertama
bernama Lorenzo I
Kerajaan Larantuka merupakan salah satu kerajaan Kristen yang berdiri di
Nusantara yang terbilang cukup besar dimasanya.
Berdasarkan legenda setempat, keturunan raja Larantuka disebut berasal dari
perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan Wehale Waiwiku
dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari gunung LIi mandiri.
Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri
yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu
generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih
berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu
daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang
keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki
pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang
semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang
akan memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan
pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa)
siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang
dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu.
Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah
kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka
bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan
terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa
yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare Bisampole
menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka
semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali
terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya
(Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).
Keesokan harinya mereka mencari tempat yang
dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki
sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas
Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh
Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta
Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi
dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko
kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi
raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya
air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare
Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki
tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima
permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan
bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan
bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka
semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut
berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang
dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto)
Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang
sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu
bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng
sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain
menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian
muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran
Masualle.
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah
sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah
yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki
daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun
kini hal itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah
berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah
ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla
Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto,
Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan
Lawi-Lawi.
Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada
tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat
lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis
sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda
tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng
sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan
besar-besaran.
Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem
Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui
Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis
mennetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad
Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari
dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur
Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan
autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis
ketika itu.Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak
tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah
bersejarah).
Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat
Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun
1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali
keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung
(960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).
Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang
telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng
pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes
KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun
kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat
Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan
Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.
Daftar nama-nama raja yang pernah memerintah
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang
pernah memerintah di wilayah Kabupaten Bantaeng, yaitu:
1. Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan
yakni tahun 1254 - 1293 yangmana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa
yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang
terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh Karaeng,
yaitu Kare Onto, Kare Bissampole, Kare
Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi,
yang semua Kare tersebut dikenal dengan
nama “Tau Tujua”
2. Sesudah Mula Tau, maka Raja kedua yang
memerintah yaitu Raja Massaniaga pada tahun 1293.
3. Pada tahun 1293 - 1332 dipimpin oleh To
Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya.
4. Tahun 1332 - 1362 dipimpin oleh Massaniaga
Maratung.
5. Tahun 1368 - 1397 dipimpin oleh Maradiya.
6. Tahun 1397 - 1425 dipimpin oleh Massanigaya.
7. Tahun 1425 - 1453 dipimpin oleh I Janggong
yang bergelar Karaeng Loeya.
8. Tahun 1453 - 1482 dipimpin oleh Massaniga
Karaeng Bangsa Niaga.
9. Tahun 1482 - 1509 dipimpin oleh Daengta
Karaeng Putu Dala atau disebut Punta Dolangang.
10. Tahun 1509 - 1532 dipimpin oleh Daengta
Karaeng Pueya.
11. Tahun 1532 - 1560 dipimpin oleh Daengta
Karaeng Dewata.
12. Tahun 1560 - 1576 dipimpin oleh I Buce
Karaeng Bondeng Tuni Tambanga.
13. Tahun 1576 - 1590 dipimpin oleh I Marawang
Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona.
14. Tahun 1590 - 1620 dipimpin oleh
Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa ri Jalanjang Latenri
Rua.
15. Tahun 1620 - 1652 dipimpin oleh Daengta
Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya.
16. Tahun 1652 - 1670 dipimpin oleh Daengta
Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge.
17. Tahun 1670 - 1672 dipimpin oleh Mangkawani
Daeng Talele.
18. Tahun 1672 - 1687 dipimpin oleh Daeng Ta
Karaeng Baso (kedua kalinya).
19. Tahun 1687 - 1724 dipimpin oleh Daeng Ta
Karaeng Ngalle.
20. Tahun 1724 - 1756 dipimpin oleh Daeng Ta
Karaeng Manangkasi.
21. Tahun 1756 - 1787 dipimpin oleh Daeng Ta
Karaeng Loka.
22. Tahun 1787 - 1825 dipimpin oleh Ibagala
Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang.
23. Tahun 1825 - 1826 dipimpin oleh La Tjalleng
To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkonga ri Bantaeng
yang bergelar Karaeng Loeya ri Lembang.
24. Tahun 1826 - 1830 dipimpin oleh Daeng To
Nace (Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang).
25. Tahun 1830 - 1850 dipimpin oleh Mappaumba
Daeng To Magassing.
26. Tahun 1850 - 1860 dipimpin oleh Daeng To
Pasaurang.
27. Tahun 1860 - 1866 dipimpin oleh Karaeng
Basunu.
28. Tahun 1866 - 1877 dipimpin oleh Karaeng
Butung.
29. Tahun 1877 - 1913 dipimpin oleh Karaeng
Panawang.
30. Tahun 1913 - 1933 dipimpin oleh Karaeng
Pawiloi.
31. Tahun 1933 - 1939 dipimpin oleh Karaeng
Mangkala
32. Tahun 1939 - 1945 dipimpin oleh Karaeng
Andi Mannapiang
33. Tahun 1945 - 1950 dipimpin oleh Karaeng
Pawiloi (kedua kalinya).
34. Tahun 1950 - 1952 dipimpin oleh Karaeng
Andi Mannapiang (kedua kalinya).
35. Tahun 1952 - Karaeng Massoelle (sebagai
pelaksana tugas).
Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di provinsiSulawesi Selatan, Indonesia. Terletak dibagian selatan
provinsiSulawesi Selatan. Kabupaten ini memiliki
luas wilayah 395,83 km² atau 39.583 Ha yang dirinci berdasarkan Lahan Sawah
mencapai 7.253 Ha (18,32%) dan Lahan Kering mencapai 32.330 Ha. Secara
administrasi Kabupaten Bantaeng
terdiri atas 8 kecamatan yang terbagi atas 21 kelurahan dan 46 desa. Jumlah
penduduk mencapai 170.057 jiwa.Kabupaten Bantaeng terletak di daerah
pantai yang memanjang pada bagian barat dan timur sepanjang 21,5 kilometer yang
cukup potensial untuk perkembangan perikanan dan rumput laut.
Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak
pada titik 5o21'23"-5o35'26" lintang selatan dan
119o51'42"-120o5'26" bujur timur. Berjarak 125 Km kearah selatan dari
Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayahnya mencapai 395,83 Km2 dengan
jumlah penduduk 170.057 jiwa (2006) dengan rincian Laki-laki sebanyak 82.605 jiwa
dan perempuan 87.452 jiwa. Terbagi atas 8 kecamatan serta 46 desa dan 21
kelurahan. Pada bagian utara daerah ini terdapat dataran tinggi yang meliputi
pegunungan Lompobattang. Sedangkan di bagian selatan membujur dari barat ke
timur terdapat dataran rendah yang meliputi pesisir pantai dan persawahan.
Kabupaten Bantaeng yang luasnya mencapai
0,63% dari luas Sulawesi Selatan, masih memiliki potensi alam untuk
dikembangkan lebih lanjut. Lahan yang dimilikinya ± 39.583 Ha. Di Kabupaten
Bantaeng mempunyai hutan produksi terbatas 1.262 Ha dan hutan lindung 2.773 Ha.
Secara keseluruhan luas kawasan hutan menurut fungsinya di kabupaten Bantaeng
sebesar 6.222 Ha (2006).
Karena sebagian besar penduduknya petani,
maka wajar bila Bantaeng sangat mengandalkan sektor pertanian. Masuk dalam
pengembangan Karaeng Lompo, sebab memang jenis tanaman sayur-sayurannya sudah
berkembang pesat selama ini. Kentang adalah salah satu tanaman holtikultura
yang paling menonjol. Data terakhir menunjukkan bahwa produksi kentang mencapai
4.847 ton (2006). Selain kentang, holtikultura lainnya adalah kool 1.642 ton,
wortel 325 ton dan buah-buahan seperti pisang dan mangga. Perkembangan produksi
perkebunan, khususnya komoditi utama mengalami peningkatan yang cukup berarti.
Hari
kelahiran Bantaeng adalah merupakan momentum sejarah yang memiliki makna yang
sangat dalam dan mendasar, oleh karena itu maka penentuan hari jadi Bantaeng
harus dilakukan secara arif dan bijaksana serta mempertimbangkan berbagai hal
dan dimensi, antara lain dengan menggunakan berbagai pendekatan dan penelitian
yang seksama, seperti seminar, diskusi-diskusi ilmiah dan observasi terhadap
data lontara, penelitian situs sejarah dan melalui penelitian dokumen-dokumen
yang ada. Apabila dilihat dari segi yuridis formal, maka hari jadi Bantaeng
jatuh pada tanggal 4 Juli 1959 saat diundangkan Undang–Undang Nomor 29 tahun
1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi. Namun,
pemberlakuan Undang–Undang Nomor 29 tahun 1959, bukanlah menunjukkan keberadaan
Bantaeng pertama kali ada, karena Kabupaten Bantaeng sebagai bekas Afdeling
pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda sudah lama dikenal sebagai pusat
pemerintahan formal. Bahkan sejak tanggal 11 Nopember 1737 Resident Pertama
pemerintahan Hindia Belanda telah memimpin pemerintahan di Bantaeng. Dengan
status “Buttatoa”, maka kita menoleh kepada sejarah jauh sebelumnya, ketika
kerajaan Belanda terbentuk pada abad XII, yang telah ditemukan oleh Kerajaan
Singosari dan Kerajaan Majapahit ketika memperlebar usaha dagang dan kekuasaan
kewilayah timur dan dicatat dalam berbagai dokumen, antara lain peta wilayah
Singosari dan buku Prapanca yang berjudul Negara Kertagama. Dengan demikian,
maka hari jadi Bantaeng selain bermakna histories juga bermakna simbolik yang
menggambarkan nilai budaya dan kebesaran Bantaeng dimasa lalu dengan adat
istiadatnya yang khas. Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di
Onto, dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu : Kare Onto, Bissampole,
Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Katapang, dan Lawi-lawi. Selain itu, sejarah
menunjukkan bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi Perang Makassar, dimana
tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena
letaknya yang strategis sebagai Bandar pelabuhan dan lumbung pangan Kerajaan
Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat
patriotisme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu
mengadakan perlawanan besar-besaran. Bulan 12 (Dua Belas), menunjukkan sistim
Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang, yang terdiri dari perwakilan rakyat
melalui unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya, yang secara
demokratis menetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
Tahun 1254 dalam Atlas Sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah
Bantaeng sudah ada ketika Kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja
Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin
hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik peta Singosari ini
jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu. Secara simbolis,
1254 bermakna pula “54” tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada saat
ditetapkan hari jadi Bantaeng pada tanggal 4 Juli 1999 pada Mubes KKB di
Bantaeng.Bahkan menurut Prof. Nurdin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun
500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tua (tanah bersejarah).
Selanjutnya laporan penelitian Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan
Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya
penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah
Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuang
(1279-1368). Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh
para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli
1999, berdasarkan keputusan Mubes KKB Nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4
Juli 1999 tentang Penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepakatan anggota DPRD
tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat hari jadi Bantaeng
ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, Peraturan Daerah Nomor : 28
tahun 1999. Sejak terbentuknya Kabupaten daerah tingkat II Bantaeng berdasarkan
UU Nomor 29 Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang pertama dilantik
pada tanggal 1 Pebruari 1960.
Daftar Kepala Pemerintahan
Sejak terbentuknya Kabupaten daerah Tingkat
II Bantaeng berdasarkasn UU Nomor 29 Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat
II yang pertama dilantik pada tanggal 1 Pebruari 1960. Adapun pejabat
pemerintahan sejak terbentuknya Kabupaten Bantaeng hingga saat ini adalah
sebagai berikut:
1.A. Rifai Bulu (1960-1965)
2.Aru Saleh (1965-1966)
3.Solthan (1966-1971)
4.H. Solthan (1971-1978)
5.Drs. H. Darwis Wahab (1978-1988)
6.Drs. H. Malingkai Maknun (1988-1993)
7.Drs. H. Said Saggaf (1993-1998)
8.Drs. H. Azikin Solthan, M.Si (1998-2008)
9.Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Agr
(2008-sekarang)
Industri dan pariwisata
Sektor industri menjadi pilihan kedua untuk
dikembangkan di Kabupaten Bantaeng yang dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Pengembangan sektor industri sangat berpeluang dimasa mendatang,
namun membutuhkan investor yang sangat kuat. Dengan perkembangan sektor
industri, dampaknya sangat positif, sebab disamping meningkatkan pendapatan
masyarakat juga menyerap banyak tenaga kerja. Industri-industri yang berkembang
antara lain adalah industri pembersih biji kemiri, pembuatan gula merah,
pertenunan godongan, pembuatan perabot rumah tangga dari kayu, anyaman bambu
atau daun lontar dan lain-lain.
Sektor lain yang perlu diperhitungkan adalah
sektor pariwisata. Kabupaten Bantaeng memiliki peninggalan sejarah yang
tercatat dalam buku-buku sejarah. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut
sangat menarik untuk dikunjungi. Tak heran memang jika pemerintah kabupaten setempat
sangat menaruh perhatian terhadap pariwisata. Terbukti direnovasinya berbagai
objek wisata alam menjadi tempat menarik, sepeti permandian alam Bissappu. Juga
dipeliharanya peningalan-peninggalan sejarah seperti Balla Tujua yang merupakan
kebanggaan masyarakat setempat.
Kabupaten Bantaeng terus berpacu dengan
daerah lainnya dengan mengembangkan penataan kota melaui pembuatan taman,
drainase, lampu jalan dan lain-lain.
Penelitian ilmiah tentang fosil Manusia Purba di Indonesia baru dimulai
pada akhir abad kesembilan belas, khususnya penelitian paleo antropologi.
Penelitian itu dapat dibagi pada 3 tahapan, yakni ; (a) 1889-1909 (b)1931-1941
(c) 1952-sekarang.
Penelitian tahap pertama, ditandai dengan penemuan tengkorak pertama di
wajak,tulung agung, Kediri tahin s889. Temuan ini menyebabkan Eugene Dubois,
seorang dokter tentara belanda, memindahkan kegiatannya dari sumatera barat ke
pulau jawa. Penemuan pertama Dubois berupa fosil atap tengkorak pithecanthropus
erectus di trinil (ngawi ) pada tahun 1891 ( sekarang tersimpan di Leiden,
Belanda ).
Penelitian tahap kedua, dilakukan oleh Ter Haar, Oppenoorth dan Von
Koeningswald tahun 1931-1933 di Ngandong, Blora, berupa tengkorak dan tulang
kering Pithecantropus Soloensis. Penelitian selanjutnya oleh Von Koeningswald
tahun 1936-1941 di Sangiran, Surakarta, berupa fosil Rahang, Gigi dan
Tengkorak, dan disebut meganthropus palaeojavanicus.
Penelitian tahap ketiga mulai tahun 1952 di sangiran, Surakarta, berupa
bagian tubuh Pithecanthropus yang belum ditemukan sebelumnya, seperti
tulang-tulang muka, dasar tengkorak dan tulang pinggul. Dalam tahap ini
ditemukan fosil tengkorak ditempat yang baru, yaitu di sambung macan, sragen.
Penelitian tahap ketiga ini dilakukan oleh orang-orang Indonesia sendiri,
terutama olehpara dokter dan geolog, dipimpin oleh Prof. Dr. T. Jacob yang
memulai penelitiannya di sangirandan sepanjang bengawan solo.
Jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
a.Meganthropus.
Meganthropus paleojavanicus
adalah fosil manusia yang paling primitive yang pernah ditemukan di Indonesia.
Fosil ini ditemukan oleh Von Koeningswald, brupa rahang bawah dan atas serta
gigi-gigi lepas pada tahun 1936-1941 di Sangiran, Surakarta.
Ciri-ciri:
-Hidup sekitar dua juta sampai satu juta tahun
yang lalu
-Badannya sangat tegap
-Gerahamnya besar
-Tonjolan kening menyolok
-Tonjolan belakang kepala tajam
-Dagu tidak ada
-Hidup dengan mengumpulkan makanan terutama
tumbuh-tumbuhan.
b.Pithecanthropus
Fosil pithecanthropus paling
banyak ditemukan pada kala plestosen di Indonesia (dominan), hidup pada
plestosen awal dan tengah, dan mungkin juga plestosen akhir. Fosilnya ditemukan
di perning, kedungbrubus, trinil, sangiran, sambungmacan, dan ngandong.
Ciri-ciri:
-Tinggi 165-180 cm
-Badan tegap ( tidak setegap Meganthropus )
-Geraham besar
-Rahang kuat
-Tonjolan kening sangat nyata
-Atap tengkorak tebal
-Dagu tidak ada
-Hidung lebar
-Isi tengkorak 750-300 cc,
-dahi miring kebelakang
-letak tengkorak diatas tulang belakang belum
menyamai keadaan pada manusia
-hidup berkelompok terdiri atas 20-50 orang
jenis-jenis pithecanthropus yang
ditemukan di Indonesia anatara lain :
a.pithecanthropusmojokertensis atau robustus : ditemukan di
Perning, Mojokerto tahun 1936, di Sangiran Surakarta.
b.pithecanthropuserectus : ditemukan di Trinil ( Ngawi ) dan
di Sangiran
c.pithecanthropus soloensis : ditemukan di
sangiran, sambungmacan ( sragen ) dan ngandong ( blora )
C, Homo
Fosil manusia jenis homo yang berasal dari kala plestosen di Indonesia
adalah homo wajakensis, ditemukan dekat campur darat, Tulungagung, Jawa
Timuroleh Van Rrietchoten tahun 889.