Tulisan ini merupakan
'hasil' dari sebuah kegelisan akan eksistensi sebuah kerajaan yang
DIAKUI oleh msyarakat Sulsel pernah berjaya dan BESAR di jazirah Utara
Sulsel. Kerajaan Luwu atau lebih dikenal dengan KEDATUAN LUWU, adalah
satu di antara TIGA kerajaan besar yang 'membangun' SUlawesi SelATAN
secara umum pada periode Tempo Doeloe Ada dua kerajaan lainnya yakni Kerajaan
Gowa dan Kerajaan Bone.
Coba kita renungi
Pernyataan berikut "Kerajaan Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, pada
1889, Gubernur Hindia-Belanda di Makassar menyatakan bahwa masa
kejayaan Luwu antara abad ke-10 sampai 14, tetapi tidak ada bukti lebih
lanjut. Luwu bersama-sama dengan Wewang Nriwuk dan Tompotikka adalah
tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik I La Galigo, sebuah
karya orang Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima
sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka
keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini
terletak di Malangke yang kini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara,
Sulawesi Selatan.
Dalam Ensiklopedia
Indonesia disebutkan; Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum
masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi
sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao)
Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi
Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang
dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.
Setelah Belanda
menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara
Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama
dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda
selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan
pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan,
Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke
Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem
pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
- Pemerintahan tingkat tinggi dipegang
langsung oleh Pihak Belanda.
- Pemerintahan
tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya
sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa
itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang
tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh
Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul
setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu
mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan
Belanda, yaitu:
- Poso (yang masuk Sulawesi Tengah
sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan
dibentuk satu Afdeling.
- Distrik Pitumpanua
(sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam
wilayah kekuasaan Wajo.
- Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu
yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling
Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
- Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya
Palopo.
- Onder
Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
- Onder
Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
- Onder
Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
·
Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa
pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem
pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di
Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan
yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh
pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan
Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang.
Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun
tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang
sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan
kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu
pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh
putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi Jemma".
Pada bulan April 1950
Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu
dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder
Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan
Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat
Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan
Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun
1957 hingga 1960.
Atas jasa-jasa beliau
terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah
dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822
yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan
Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai
berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan
tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi
Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar.
Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara
kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin
langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya pada masa
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu
berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai
dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara
lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan
Republik Indonesia".
Pemerintah Pusat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah
Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus
Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan
Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan
dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di
antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah
Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.
Berselang beberapa
tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang
Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang
Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang
Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone,
Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No.
4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan
Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah
meliputi:
- Kewedanaan
Palopo
- Kewedanaan
Masamba dan
- Kewedanaan Malili
Namun dalam
perkembangan kekinian --abad 20 dan abad 21-- Kerajaan Luwu sepertinya
'terhapus' dalam lembaran sejarah SULSEL. Padahal dalam sejarah
perkembangan di Sulsel, Kerajaan Luwu justru memegang kendali pengaruh
terhadap masyarakat Sulsel.
Keberadaan Kerajaan
Gowa yang memampu menguasai bagian SELATAN Sulsel, membuahkan suku
Makassar, Kerajaan Bone yang menguasai wilayah TIMUR Sulsel
menghasilkan suku Bugis. Keduanya terjusttifikasi dalam kebudayaan
SULSEL. Tetapi Kerajaan Luwu yang menguasai bagian UTARA Sulsel secara
keseluruhan dan sebagian wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara
dikenal sebagai TO LUWU, tapi tidak terakui dalam lembaran BUDAYA
masyarakat SULSEl sebuah SUKU yang diakuiL. TO LUWU atau orang yang
bermukim di wilayah Kerajaan Luwu, justru dikategorikan masuk dalam
struktur SUKU BUGIS.
Padahal sejatinya, TO
LUWU adalah sebuah suku bangsa yang bermukim di wilayah Kerajaan Luwu.
TO LUWU sendiri terkelompok ke dalam sembilan anak suku. itu berarti
bahwa di Kerajaan Lwu ada suku bangsa dan ada anak suku. Suku Bangsa
inilah disebut TO LUWU. Mereka pun memiliki struktur bahasa sendiri
sebanyak duabelas bahasa.
Dalam terori
antropologi; Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan
manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan
sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.
Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri
khas kelompok tersebut, dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama,
perilaku atau ciri-ciri biologis.
Menurut pertemuan
internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis
pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam
kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam
pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah.
Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap
etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah
kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut
etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok
suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun
para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak
dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap
menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah
temuan yang relatif baru.
Anggota suatu suku
bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah
(patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu
(matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku
Jawa.
Adapula yang
menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan "orang
peranakan" untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, "orang Indo"
sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu, "orang Mestis" untuk
campuran Hispanik dengan bumiputera, "orang Mulato" campuran ras Negro
dengan ras Kaukasoid, Eurosia, dan sebagainya.
Adapula ditentukan
menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera
yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani (peranakan
Portugis seperti orang Tugu), suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau
Bangsamoro di Filipina Selatan, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar