Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar, dan terluas di Sulawesi
Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan
Poso. Perkataan “Luwu” atau “Luu” itu sebenarnya berarti “Laut”. Luwu
adalah suku bangsa yang besar yang terdiri dari 12 anak suku. Walaupun
orang sering mengatakan bahwa Luwu termasuk suku Bugis, tetapi
orang-orang Luwu itu sendiri menyatakan mereka bukan suku Bugis, tetapi
suku Luwu. Sesuai dengan pemberitaan lontara Pammana yang mengisahkan
pembentukan suku Ugi’ (Bugis) di daerah Cina Rilau dan Cina Riaja, yang
keduanya disebut pula Tana Ugi’ ialah orang-orang Luwu yang bermigrasi
ke daerah yang sekarang disebut Tana Bone dan Tana Wajo dan membentuk
sebuah kerajaan. Mereka menamakan dirinya Ugi’ yang diambil dari akhir
kata nama rajanya bernama La Sattumpugi yang merupakan sepupu dua kali
dari Sawerigading dan juga suami dari We Tenriabeng, saudara kembar dari
Sawerigading.
Kerajaan Luwu diperkirakan berdiri sekitar
abad X yang dibangun oleh, sekaligus sebagai raja pertama adalah Batara
Guru (Tomanurung) yang dipercaya turun dari langit diutus oleh ayahnya
Dewa Patoto’e untuk turun mengisi kekosongan di dunia tengah. Beliau
turun tepat di daerah Ussu, kecamatan Malili, kabupaten Luwu Timur lalu
dikawinkan dengan We Nyili Timo’ sepupu satu kalinya yang berasal dari
dunia bawah, sehingga lahirlah beberapa keturunan. Setelah dunia tengah
sudah banyak penghuninya dan kehidupan di dalamnya sudah berjalan baik,
maka kembalilah Batara Guru ke atas langit.
Kerajaan Luwu
merupakan kerajaan paling sepuh diantara beberapa kerajaan di Sulawesi
Selatan karena asal-usul setiap raja di Sulawesi Selatan berasal dari
Luwu. Seperi dalam kerajaan Gowa, mereka meyakini bahwa raja pertama
mereka mempunyai asal-usul dari kerajaan Luwu begitu halnya dengan
kerajaan Bone dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan dan
bahkan di Pulau Sulawesi serta sebagian Kalimantan. Oleh sebab itu, Luwu
sangat disegani dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan lainnya di
Sulawesi Selatan.
Pusat kerajaan Luwu (Ware’) pertama adalah
di daerah Ussu. Ussu terkenal akan hasil alamnya berupa besi dan
pelabuhannya yang terletak di muara sungai Cerekang , dan diyakini kalau
besi-besi yang ada di Jawa untuk dipakai membuat keris pada zaman itu
berasal dari Luwu. Hal ini bisa di benarkan karena dulunya Luwu sudah
menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Sulawesi dan hal
ini dapat dibuktikan dengan tercantumnya nama kerajaan Luwu dalam kitab
Negarakertagama milik kerajaan Majapahit. Kerajaan Luwu juga dikenal
dengan hasil karya sastranya, yaitu I La Galigo. I La Galigo merupakan
karya sastra terbesar dan terpanjang di dunia mengalahkan Mahabrata yang
berasal dari India yang ditulis sekitar abad 14 lalu disalin ulang lagi
oleh Colli’ Puji’e Arung Pancana Toa sebanyak 12 jilid yang kini
tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Pusat
kerajaan Luwu (Ware’) yang terakhir adalah Palopo. Pemindahan Ware’ ini
(Ware’ sebelumnya Malangke) karena letak Palopo yang strategis di
pinggir Teluk Bone sehingga memudahkan untuk menjalin hubungan dengan
kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan melalui laut. Pemindahan Ware’ ini
dilakukan pada masa Pajung / Datu Luwu ke- 15, yaitu Andi Pattiware’
Daeng Parabung pada abad ke XV awal masuknya Islam ke Tana Luwu.
Raja
terakhir dari kerajaan Luwu adalah Andi Djemma yang bergelar Petta
Matinro’e ri Amaradekanna yang memerintah mulai tahun 1935-1965 Masehi.
Beliau merupakan raja yang sangat dikagumi dan dibangga-banggakan oleh
rakyatnya bahkan raja-raja lain di Sulawesi Selatan karena keberaniannya
dalam menghadapi penjajah Belanda. Beliau rela mati dan meninggalkan
seluruh harta dan kekuasaannya untuk mempertahahankan kemerdekaan
Republik Indonesia. Karena itulah beliau diberi gelar Pahlawan Nasional
oleh pemerintah pusat sekitar tahun 2003, dimana beliau merupakan
satu-satunya raja Luwu dari sekian raja Luwu yang memerintah ketika
Belanda datang menjajah negara kita yang memperoleh gelar kehormatan
tersebut.
Sebelum agama Islam masuk ke Tana Luwu, masyarakat mulanya menganut
Animisme. Setelah sepuluh abad lebih berdiri, kerajaan Luwu baru
menerima agama Islam sekitar abad ke-15, yaitu pada tahun !593. Kerajaan
Luwu merupakan kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menganut agama
Islam. Agama Islam sendiri di bawa ke Tana Luwu oleh Dato’ Sulaiman dan
Dato’ ri Bandang yang berasal dari Aceh. Hal-hal mistik banyak mewarnai
proses awal masuknya Islam di Luwu. Diyakini bahwa Dato Sulaiman dan
Dato ri Bandang datang ke Luwu dengan menggunakan kulit kacang. Mereka
pertama kali tiba di Luwu tepatnya di desa Lapandoso, kecamatan Bua,
kabupaten Luwu.
Setelah sampai, Datu Sulaiman lalu
dipertemukan dengan Tandipau (Maddikka Bua saat itu). Sebelum menerima
agama yang dibawa oleh kedua Datu itu, Tandipau terlebih dahulu
menantang Datu Sulaiman. Tantangan itu adalah Tandipau akan menyusun
telur sampai beberapa tingkat, apabila Datu Sulaiman mengambil telur
yang ada di tengah-tengah tetapi telur itu tidak jatuh atau bergeser
sedikitpun, maka Tandipau akan mengakui ajaran agama Islam yang dibawa
oleh Datu Sulaiman. Tandipau berani disyahadatkan asalkan tidak
diketahui oleh Datu’ karena ia takut durhaka bila mendahului Datu’.
Sebelum ke Malangke (Ware’) untuk menghadap Datu’, ke dua Dato’ itu
terlebih dahulu membangun sebuah masjid di Bua tepatnya di desa Tana
Rigella yang dibangun sekitar tahun 1594 Masehi yang merupakan masjid
tertua di Sulawei Selatan. Masjid ini pernah dimasuki oleh tentara NICA
pada zaman penjajahan lalu menginjak dan merobek-robek Al-Qur’an yang
ada di dalam masjid. Hal inilah yang memicu kemarahan rakyat Luwu lalu
terjadilah perang semesta rakyat Luwu pada tanggal 23 Januari 1946 yang
selalu diperingati oleh masyarakat Luwu setiap tahunnya.
Setelah
membuat masjid di Bua, Dato’ Sulaiman lalu diantar ke Ware’ (Malangke)
untuk menemui Datu’ Pattiware’. Setelah terjadi dialog siang dan malam
antara Datu’ dengan Dato’ Sulaiman mengenai ajaran agama yang dibawanya,
maka Datu’ Pattiware’ pun bersedia diislamkan bersama seisi istana.
Pada Waktu itu Pattiware’ sudah memiliki tiga orang anak, yaitu
Pattiaraja (12 tahun), Pattipasaung (10 tahun, yang kemudian menjadi
Pajung / Datu Luwu ke 16 menggantikan ayahnya) dan Karaeng Baineya (3
tahun), serta adik iparnya Tepu Karaeng (25 tahun). Islam lalu dijadikan
sebagai agama kerajaan dan dijadikan pula sebagai sumber hukum.
Walaupun sudah dijadikan sebagai agama kerajaann, penduduk yang jauh
dari Ware’ dan Bua masih tetap menganut kepercayaan Sawerigading. Mereka
mengatakan bahwa ajaran Sawerigading lebih unggul dibanding ajaran
agama yang daibawa oleh Dato’ tersebut.
Setelah berhasil
mengislamkan Datu’ Pattiware’, Dato’ ri Bandang atau Khatib Bungsu lalu
pergi untuk menyebarkan Islam didaerah lain di Sulawesi Selatan.
Sedangkan Dato’ Sulaiman tetap tinggal di Luwu agar bisa mengislamkan
seluruh rakyat Luwu karena hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama.
Beliau lalu wafat dan dikuburkan di Malangke, tepatnya di daerah
Pattimang, dan ia pun diberi gelar Dato’ Pattimang.
Saat
pusat kerajaan Luwu (Ware’) dipindahkan dari Malangke ke Palopo, Andi
Pattiware’ yang bergelar Petta Matinro’e ri Pattimang (1587-1615 M)
Datu’ pada zaman itu, memerintahkan untuk membuat suatu masjid yang
dapat digunakan oleh masyarakat Palopo untuk menunaikan Shalat secara
berjamaah yang letaknya tidaklah jauh dari “Salassae” istana Luwu.
Masjid itu sendiri dibuat oleh Pong Mante pada tahun 1604 Masehi dimana
makamnya terdapat dalam masjid Djami itu sendiri, tepatnya di bawah
mimbar yang besar. Konon batu yang dipakai untuk membangun masjid itu
dibawa dari Toraja dengan cara orang-orang berjejer dari Toraja sampai
ke Palopo lalu batu-batu itu dioper satu per satu. Sedangkan bahan yang
dipakai untuk merekatkan batu yang satu dengan yang lainnya adalah putih
telur yang diambil dari kecamatan Walenrang, kabupaten Luwu.
Nama
Palopo itu sendiri yang sudah lama kita kenal berasal dari kata
“Pallopo’ni” yang diucapkan oleh orang-orang saat ingin menancapkan
tiang masjid yang besar. Panjang tiang utama masjid ini sekitar 16 meter
dan kayu yang dipakai adalah kayu Cina Guri, namun sekarang kayu jenis
ini sudh tidak ada lagi. Konon kayu jenis Cina Guri ini dikutuk sehingga
sekarang hanya menjadi rerumputan kecil yang biasa diberikan pada
ternak sebagai makanan. Arti kata “Pallopo’” yang secara bebas berarti
“masukkan dengan tepat”. Menurut kepercayaan masyarakat, seseorang belum
bisa dikatakan menginjak Palopo jika ia belum pernah masuk ke dalam
Masjid Djami.
Setelah empat abad lebih, bangunan masjid
Jami’ masih utuh dan tetap terawat dengan baik sehingga pada tahun 2002
yang lalu Masjid Djami’ Palopo memperoleh penghargaan sebagai Masjid Tua
terbaik se-Indonesia mengalahkan ribuan masjid tua lainnya di
Nusantara. Setelah berkembang selama kurang lebih empat abad, agama
Islam kini menjadi agama yang mayoritas dianut oleh warga Tana Luwu dan
Sulawesi Selatan pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar